IPA atau IPS?


Artikel ini ditulis oleh Sekar Hayati Lakshita Rukmi (IPS Pad 67). Bagi saya, tulisan ini layak dan sangat perlu dibaca oleh para siswa kelas X yang di sebentar lagi akan naik ke kelas XI IPA atau IPS. Menentukan pilihan kadang merupakan dilema. Ketika memilih A maka akan kehilangan peluang-peluang yan dieberikan oleh B, atau sebaliknya. Dan yang sering tidak disadari adalah pilihan kita sering dituntun oleh hal-hal yang institutionalized atau melembaga, bahkan stereotype dan prasangka tertentu atas suatu pilihan. Tulisan berikut ini, dapat menjadi (salah satu) rujukan.

IPS sebagai Proses & IPA sebagai Sarana

Oleh Sekar Hayati Lakshita Rukmi (IPS PAD 67), diterbitkan pertama kali di http://padmanaba.or.id/ips-sebagai-proses-ipa-sebagai-sarana/

“Besok kalau sudah gede, mau jadi apa?”

“Mau jadi dokter,”

Sewaktu saya kecil, jawaban “mau jadi dokter” ibarat jargon yang otomatis keluar bilamana ditanya tentang cita-cita. Padahal, kala itu, saya sama sekali awam tentang profesi berjuluk “jadi dokter” itu. Barangkali, ini hanya efek dari sajak “kudangan” yang dahulu biasa dilantunkan Bapak ketika memandikan saya,

Adus banyu seger..

Dadiya bocah pinter..

Besuk dadi dokter..

Walhasil, imej dokter dan pinter pun terpatri kuat di benak saya. Ada paradigma di alam bawah sadar saya bahwa jadi dokter adalah puncak pencapaian prestasi. Walaupun, pada dasarnya, orang tua saya tidak memaksakan saya untuk jadi dokter, mereka juga korban paradigma.

Mbah Kakung saya juga  kena sindrom “mabuk dokter”. Beliau berjanji akan membiayai kuliah saya sampai tuntas kalau saya bisa masuk Kedokteran. Awalnya, kami menganggap ini adalah sebuah berita gembira. Namun, seiring perjalanan waktu, saya mulai berpikir, apakah saya akan menjadi penawar “mabuk dokter” buat keluarga saya?

Saya masih terus menimbang-nimbang. Tahun pertama di SMA saya malah jadi gojag-gajeg. Apa yang harus saya pilih? Tidak mungkin saya menunda pilihan. Tahun depan saya sudah harus menentukan langkah. Semasa SD dulu, sah-sah saja saya ingin jadi pemadam kebakaran, astronot, bahkan juragan klepon sekalipun. Namun kini, tidak bisa semudah itu menentukan langkah. Berbekal kesuksesan memasuki almamater bergengsi seperti ini, saya harus bisa bijak. Ini masalah hidup.

Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi lagi, masyarakat kita memang terkondisikan menganggap IPS adalah wadah bagi siswa-siswa “afkiran” alias buangan. Kebanyakan dari kita (nggak yang muda, nggak yang tuwo, nggak yang modern, nggak yang kuno) meyakini bahwa program ilmu sosial hanya untuk anak-anak yang harus ngeden ngentut sekadar buat naik kelas. Di kelas sepuluh dulu, sering saya mendengar,

“Aduh, gimana niiih??? Nanti kalau aku masuk IPS, gimana?”

“Sob, nanti semesteran bantuin yak. Biar masuk IPA, men,”

Saya pun menyimpulkan, kalau begitu pemilihan jurusan hanya semata prestige. Masuk IPA hanya untuk gaya-gaya, tidak peduli endingnya teraniaya. Sementara, IPS dipandang sebagai ajang leha-leha, hura-hura dan main-main saja.

Ilmu di dunia ini ‘kan banyak. Ada ilmu agama, ada ilmu alam, ilmu sosial, ilmu ketrampilan, bahkan nyantet pun ada ilmunya. Kemudian, dari ilmu-ilmu tersebut, kita tinggal memilih ilmu mana yang akan ditekuni. Pokoknyaminat, bakat, niat, tekad, ragad. Pertama, kita harus menemukan bidang yang membuat kita tertarik. Misalnya seni, matematika, bahasa atau olah raga. Selanjutnya, kita harus sadar diri dengan bakat yang kita miliki. Mampukah kita menuruti minat kita? Kalau nilai Kimia kita bisa untuk nyanyi alias cuma do re mi fa sekuat apa pun mencoba, ya jangan maksa. Itu tandanya, Kimia bukan bakat kita. Carilah bidang yang mana kita bisa total optimal di dalamnya. Elemen terpenting dari suatu ikhtiar adalah niat. Bila kita bersungguh-sungguh dalam berusaha, InsyaALLAH, akan diberi keringanan dan keriangan. Tekad juga penting untuk menjaga kestabilan dan kontinuitas suatu proses. Tanpa tekad yang kuat, kita bisa nglokro di tengah jalan lalu ujung-ujungnya mbleretbahkan mogol. Item terakhir yang harus kita kantongi adalah ragad. Ragad bila diterjemahkan secara harfiah adalah biaya atau uang, tetapi sesungguhnya ragad itu luas. Ragad juga bisa berarti restu, support, fasilitas juga doa. Umumnya ragad itu datangnya dari orang tua. Kalau semua sudah dicapai, perkara memilih jurusan sudah bukan persoalan.

Menginjak tahun kedua saya pun mantap dengan pilihan saya, program IPS. Tentu saja, setelah menjalankan 5 prinsip yang sudah dibahas tadi. Biarlah teman-teman saya memilih IPA, itu ‘kan pilihan mereka. Saya punya pilihan sendiri, saya punya nasib sendiri, saya punya hidup saya sendiri. Toh, dengan memilih IPS, peluang saya untuk bergaul, berorganisasi, belajar dan berkarya tidak tertutup. Ditambah lagi, di sini, di almamater kita yang tercinta ini, semua berjalan berdasarkan pilihan siswa. Apa yang dijalani berdasar yang diingini. Jadi, tidak ada proses buang binuang, paksa memaksa, tundung menundung, singkang sinengkang.

Apa yang kita pilih adalah sebagian dari tahapan membangun masa depan. Ada konsep yang ingin kita realisasikan. Jadi, memilih program itu jangan disamakan petak umpet. Masuk IPS karena tidak ingin bertemu Fisika, masuk IPA karena tidak suka Geografi. Apalagi, masuk IPA/IPS karena ikut-ikutan. Masuk IPS atau IPA tanggung jawabnya sama saja. Prestige-nya juga sama saja. Tidak ada yang sekadar santai-santai atau keren-keren. Kalau mau santai-santai, pulang saja, angon bebek.

Kesuksesan tidak bisa diparameterkan dengan variabel bidang tertentu. Gelar akademik tinggi bukan monopoli insan eksak belaka. Jangan dikira, kalau mau jadi profesor harus ahli biologi, profesor ekonomi juga banyak. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, justru pelajar-pelajar program ilmu alam banyak yang menyeberang ke jurusan ilmu sosial. Dan dapat dibayangkan betapa riweuhnya mengejar IPC yang waktu persiapannya paling lama hanya sepekan itu.

Jangan biarkan prasangka membuat kita terpenjara. Jangan menyiksa diri sendiri dengan sesuatu yang tidak kita perlukan. Bila ada potensi, pilihan bukan sekadar spekulasi. Jangan sampai salah memilih. Bila memang merasa cocok dan mantap di IPA, ya jangan ragu memilih, begitu pun dengan IPS. Semua punya jalur sukses sendiri-sendiri.

Barangkali, “kudangan”  Bapak saya perlu direvisi.

Adus banyu seger

Dadiya bocah pinter

Aja nganti keblinger

Esensi pinter bukan lagi dokter, tetapi kemampuan untuk tidak keblinger atau salah jalan. Sekarang, bagaimana dengan Anda?

Sekar Hayati Lakshita Rukmi

XI IPS (67)

8 thoughts on “IPA atau IPS?

  1. Bagus, menarik sekali artikel yang ditulis oleh Sekar Hayati LR.. Smoga mampu memberikan pencerahan bagi siswa-2 kelas X yang bingung memilih jurusan.

    • Wow … selamat telah punya pilihan; Tekuni IPS dan berkomitmen, so orangtua akhirnya yakin juga bahwa kesuksesan seseorang tidak selalu melalui program IPA … Sukses, Nak.

    • sok atuh , milih jurusan itu berdasarkan kemampuan , bukan karena ikut2an 🙂
      kalo kemampuannya di ilmu sosial ya di IPS , kalo mampunya di ilmu sosial tapi di paksa ke IPA sama aja ntarnya , kamu gbsa jadi apa yg kmu mau , pilih mnurut keyakinan diri, karena itu hidup kamu , kamu yg mnjalani , bukan mereka 🙂

  2. saya suka banget sama ips..
    minat bakat saya ada di IPS..
    tapii ortu saya menentang keras untuk tidak masuk IPS..
    mereka memaksa untuk saya masuk IPA..
    bagaimana solusi dari bapak untuk masalah saya ?
    dan bagaimana saya menghadapi teman teman saya ketika mereka merendahkan saya
    karna ips sudah berimage “Anak anak buangan & nakal” ???

    • sok atuh , milih jurusan itu berdasarkan kemampuan , bukan karena ikut2an
      kalo kemampuannya di ilmu sosial ya di IPS , kalo mampunya di ilmu sosial tapi di paksa ke IPA sama aja ntarnya , kamu gbsa jadi apa yg kmu mau , pilih mnurut keyakinan diri, karena itu hidup kamu , kamu yg mnjalani , bukan mereka

  3. saya dri smp itu sudah mengetahui kalo bakat saya lebih dominan ke ips. tapi ayah sy mendorong untk msuk ipa, dan sya sendiri ingin masuk ipa, krna blum terlalu bsa pelajaran ipa,sdngkan ips kebnyakn tlah mengerti pelajaranya. Bagaimana komentar anda?trima ksih

Leave a reply to huda Cancel reply